Mengingat Reformasi: Api Perjuangan yang Tak Boleh Padam
Kamis, 29 Mei 2025 08:02 WIB
"Reformasi bukan sekadar perubahan sistem, tetapi transformasi jiwa bangsa menuju Indonesia yang lebih adil dan demokratis."
21 Mei 1998 ditandai sebagai sebuah titik balik dalam perjalanan sejarah Indonesia modern. Setelah 32 tahun berada di bawah kuasa rezim Orde Baru, rakyat Indonesia akhirnya berhasil meruntuhkan otoritarianisme yang telah mengekang kebebasan dan keadilan. Reformasi Indonesia tidak lahir dalam semalam, melainkan melalui perjuangan panjang yang dimulai dari akumulasi ketidakpuasan terhadap praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang telah mengakar.
Krisis moneter yang melanda Asia pada 1997 mempercepat momentum reformasi. Ketika nilai rupiah anjlok dan inflasi melonjak tinggi, rakyat Indonesia merasakan langsung dampak buruk dari sistem pemerintahan yang tidak transparan dan otoriter. Mahasiswa sebagai garda terdepan mulai turun ke jalan, menuntut reformasi total dalam segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998, di mana empat mahasiswa gugur dalam demonstrasi menuntut reformasi, menjadi momentum puncak yang menggerakkan seluruh elemen masyarakat. Kerusuhan Mei 1998 yang menyusul kemudian menunjukkan betapa rapuhnya legitimasi pemerintahan Soeharto. Akhirnya, pada 21 Mei 1998, Presiden Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya, menandai berakhirnya era Orde Baru dan dimulainya era Reformasi.
Dinamika Era Reformasi di Indonesia
Lebih dari dua dekade pasca reformasi dengan segala transformasi yang telah dialami. Namun, perjalanan reformasi tidaklah mulus. Berbagai tantangan masih menghadang, mulai dari praktik korupsi yang masih mengakar, oligarki, politik tranksaksional yang menguat, hingga munculnya gerakan anti-demokrasi yang berusaha mengembalikan otoritarianisme. Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2021 menunjukkan bahwa 64% responden masih menganggap korupsi sebagai masalah utama bangsa.
Di sisi lain, kemajuan teknologi digital membawa tantangan baru berupa hoaks dan disinformasi yang dapat mengancam stabilitas demokrasi. Media sosial yang seharusnya menjadi ruang demokratisasi informasi, justru kerap disalahgunakan untuk menyebarkan ujaran kebencian dan polarisasi politik.
Terlebih, lahirnya buzzer politik yang sengaja dikerahkan oleh pihak pihak tertentu untuk menutupi borok kekuasan memenuhi media sosial, berperan besar dalam menumpulkan sisi kritis rakyat.
Kobaran Api Reformasi di Kalangan Generasi Muda
Generasi muda Indonesia hari ini tumbuh dalam era reformasi dan demokrasi. Mereka memiliki akses informasi yang lebih luas dan kesadaran politik yang tinggi. Survei Alvara Research Center (2019) menunjukkan bahwa 73% generasi milenial dan Gen Z di Indonesia aktif dalam diskusi politik di media sosial.
Generasi ini menunjukkan karakteristik yang berbeda dari generasi reformis 1998. Mereka lebih pragmatis, memanfaatkan teknologi digital sebagai alat perjuangan. Gerakan di media sosial dengan meramaikan hastag #IndonesiaGelap dan #ReformasiYangDihabisi yang viral di media sosial sepanjang tahun 2024 sampai 2025 menunjukkan kepedulian mereka terhadap agenda reformasi yang tak boleh usai.
Namun, berdasarkan survei yang dilakukan oleh Litbang Kompas dan dipublikasikan dalam Harian Kompas pada 21 Mei 2025, menemukan beberapa hambatan utama dalam pencapaian tujuan reformasi, yaitu, masih lemahnya penegakan hukum menjadi masalah terbesar, disusul dengan dua isu yang lainnya, yaitu kondisi ekonomi negara yang masih lemah dan praktik korupsi merajalela. Faktor-faktor lain yang turut menghambat meliputi intrik politik dan dominasi tokoh-tokoh lama dalam kekuasaan.
Temuan ini menunjukkan bahwa generasi muda tidak hanya menghadapi tantangan internal dalam perkembangan mereka, tetapi juga berhadapan dengan hambatan struktural yang kompleks dalam upaya mewujudkan cita-cita reformasi.
Harapan untuk Indonesia di Masa Depan
Reformasi Indonesia masih dalam proses. Cita-cita para reformis 1998 untuk mewujudkan Indonesia yang demokratis, berkeadilan, dan sejahtera belum sepenuhnya tercapai. Namun, fondasi yang telah dibangun selama dua dekade terakhir memberikan secercah harapan untuk masa depan yang lebih baik.
Reformasi perlu diperluas, tidak hanya pada aspek politik, struktural dalam bidang ekonomi, pendidikan, dan kesehatan, keadilan sosial, namun, yang tak kalah penting adalah reformasi mental dan budaya. Semangat gotong royong, toleransi, dan kebinekaan yang menjadi jati diri bangsa Indonesia perlu diperkuat di tengah arus globalisasi dan carut marut situasi politik Indonesia yang mengancam. Pendidikan karakter dan Pancasila perlu direvitalisasi sebagai filter dalam menghadapi tantangan.
Pemerintah sebagai penyelenggara negara perlu membuktikan komitmennya terhadap reformasi melalui kebijakan pro-rakyat yang konsisten. Kepercayaan publik terhadap institusi negara menjadi modal penting untuk keberlanjutan reformasi.
Reformasi adalah milik kita bersama. Mari kita jaga dan teruskan untuk generasi yang akan datang.
Referensi:
Aspinall, Edward. (2005). Opposing Suharto: Compromise, Resistance, and Regime Change in Indonesia. Stanford University Press.
Alvara Research Center. (2019). Indonesia Gen Z and Millennial Report 2019.
Lembaga Survei Indonesia. (2021). Tren Kepuasan Publik terhadap Demokrasi Indonesia.
Litbang Kompas via Harian Kompas. (2025). Keyakinan Masyarakat Terhadap Reformasi Semakin Melemah.

Mahasiswa Universitas Pamulang
0 Pengikut

Mengingat Reformasi: Api Perjuangan yang Tak Boleh Padam
Kamis, 29 Mei 2025 08:02 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler